Sindrom Nefrotik
Sindroma Nefrotic (SN) adalah gambaran klinis dengan ciri khusus proteinuri masif lebih dari 3,5 gram per 1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari (dalam praktek, cukup > 3,0-3,5 gr per 24 jam) disertai hipoalbuminemi kurang dari 3,0 gram per ml. Pada SN didapatkan pula lipiduria, kenaikan serum lipid lipoprotein, globulin, kolesterol total dan trigliserida, serta adanya sembab sebagai akibat dari proteinuri masif dan hipoproteinemi. Beberapa ahli penyakit ginjal menambahkan kriteria lain :
1. Lipiduria yang terlihat sebagai oval fat bodies atau maltase cross bodies.
2. Kenaikan serum lipid, lipoprotein, globulin, kolesterol total dan trigliserida
3. Sembab.
ETIOLOGI
Di klinis sebagian besar pasien sindrom nefrotik, berkisar antara 75 sampai 80 % termasuk sindrom nefrotik idiopati, etiologinya tidak diketahui. Sebagian kecil pasien-pasien sindrom nefrotik (20%) termasuk sindrom nefrotik sekunder, etiologinya sangat heterogen.
1. Penyakit ginjal parenkim primer
· Glomerulonefritis (pasca streptococcus)
· Idiopati (Lipoid, membranous, membranoproliperatif)
2. Penyakit metabolik dan jaringan kolagen
· Diabetes Mellitus
· Amiloidosis
· Henoch Schonlein Purpura
· Lupus Eritematosus Sistemik
3. Gangguan sirkulasi mekanik
· Right Heart Syndrome
· Trombosis Vena Renalis
4. Penyakit-penyakit keganasan
· Hodgkin
· Limfosarkom
· Mieloma multiple
5. Penyakit-penyakit infeksi
· Malaria
· Sifilis
· Tifus abdominalis
· Hepatitis B, C
· Schistosomiasis
· Lepra
6. Toksin-toksin spesifik
· Logam-logam berat (merkuri, emas dan bismut)
· Obat-obatan (trimetadion, parametadion, pensilinamin, captopril)
7. Kelainan kongenital
8. Lain-lain
· Sirchosis hepatis
· Obesitas
· Kehamilan
· Transplantasi ginjal
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN Lesi Minimal (GNLM), Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS), GN Membranosa dan GN Membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan.
PATOFISIOLOGI
PROTEINURIA
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada GSFS, peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan pemeabilitas MBG, walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.
HIPOALBUMINEMIA
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin dan usus (protein loosing enteropathy). Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Jika peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia keadaan ini akan diikuti oleh keadaan hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi oliguric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium dari glomerulus. Retensi Na+ dan air yang berhubungan dengan sistem Renin-angiotensin aldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretik yang mengandung antagonis aldosteron. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat, mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipolabuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.
EDEMA
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natirum dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.
Kedua mekanisme underfill dan overfill tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.
PENGARUH SISTEMIK DAN HIPOALBUMINEMIA
Semua organ tubuh dapat mengalami perubahan-perubahan seperti kerusakan jaringan yang jelas terlihat pada kulit dan kuku. Garis striae terlihat tersebar pada kulit paha dan dinding perut. Garis horizontal (berwarna putih) pada kuku dinamakan Muercke line, albumin serum bertindak sebagai pengikat steroid adrenokortikal dan hormon tiroid. Kehilangan sejumlah hormon tiroid mungkin cukup untuk merangsang pembentukan thyroid stimulating hormon (TSH) dan pembentukan goiter. Goiter ini akan mengalami regresi bila sindroma nefrotik telah mengalami remisi. Hormon tiroid terikat juga pada plasma pre-albumin yang mempunyai berat molekul 61.000 dan beberapa globulin.
Transferin dan seruloplasmin merupakan pengikat protein lainnya yang dapat lolos melalui kerusakan glomerulus. Kehilangan imunoglobulin-G (IgG) sering menyebabkan tubuh peka terhadap setiap infeksi. Kehilangan sejumlah faktor-faktor fibrinolisis melalui kerusakan glomerulus dapat menyebabkan pembentukan trombus.
Kehilangan sejumlah 25-Hydroxycholecalciferol yang terikat pada protein dapat menyebabkan gangguan ionisasi, terdapat penurunan kalsium serum (hipokalsemia) dengan gejala tetani.
HIPERLIPOPROTEINEMI DAN HIPERFBRINOGENEMIA
Kolesterol terikat pada plasma dan merupakan konstituen dari lipoprotein yang terdiri dari high dan low density (HDL & LDL). Semua fraksi lipoprotein, kecuali HIDL akan meninggi pada sindrom nefrotik.
Mekanisme hiperlipoproteinemia pada sindrom nefrotik tidak diketahui, diduga berhungan dengan mobilisasi lemak tubuh untuk sintesis protein setelah terjadi keseimbangan negatif protein. Pengalaman klinis membuktikan bahwa hiperlipoproteinemia dapat dicegah atau diatasi sementara dengan infus albumin, dan akan meninggi lagi selama masih terdapat kelainan ginjal. Hiperkolesterolemia dapat merupakan indikator hiperlipoproteinemi pasca sindrom nefrotik. Kolesterol serum meninggi, dapat mencapai 400-600 mg% dan trigliserid serum 2-3 gram%. Sindrom nefrotik yang tidak disertai hiperkolesterolemia dinamakan pseudo-nephrotic syndrome. Biasanya ditemukan pada lupus eritematosus sistemik atau telah terjun ke fase gagal ginjal.
KELAINAN-TUBULUS GINJAL
Proteinuria berat/masif sedang diikuti oelh glikosuda, aminoasiduda, dan fosfaturia walaupun tidak dijumpai diabetes mellitus atau nefropati paraprotein. Hipokalsiuri dapat merupakan gambaran sindrom nefrotik walaupun LFG masih normal.
GAMBARAN KLINIS
Sembab merupakan keluahan utama, tidak jarang merupakan keluhan satu-satunya dari sinrom nefrotik. Timbulnya terutama pada pagi dan hilang pada siang hari. Setelah beberapa minggu atau bulan, sembab menetap. Lokasi sembab biasanya mengenai kelopak mata, tungkai, perut, torak dan genitalia.
Pada sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia berat (albumin serum kurang dari 2 gram%) sembab ini akan mengenai seluruh tubuh, dinamakan anasarka. Pasien-pasien mengeluh sesak nafas, kaki terasa berat dan dingin, tidak jarang dengan diare.
Otot-otot mengalami atrofi terutama otot sekelet (muscle wasting), karena keseimbangan negatif dari nitrogen atau akibat efek samping pemberian kortikosteroid jangka lama. Atrofi otot-otot ini akan terlihat makin nyata bila sembab telah hilang.
Pada sindrom nefrotik berat dengan albumin serum kurang dari 2 gram% dan berlangsung lama selalu disertai tanda-tanda malnutrisi seperti perubahan-perubahan rambut dan kulit, pembesaran kelenjar parotis, garis Muercke pada kuku.
Pada beberapa pasien tidak jarang dengan keluhan yang menyerupai acute abdomen yaitu sakit perut hebat, mual-mual dan muntah-muntah, dinding perut sangat tegang. Keluhan-keluhan demikian dinamakan nephrotic crisis. Pada laparotomi hanya ditemukan cairan asites steril dan serat-serat fibrin.
Sindrom nefrotik sangat peka terhadap infeksi sekunder terutama infeksi saluran nafas (pneumonia), dan saluran kemih (pielonefritis).
Pemeriksaan diagnosis fisik
Pasien sesak nafas, muka sembab (puffy face), anemi ringan, pembesaran kelenjar parotis, struma difussa non toksik, efusi pleura, asites, sembab subkutis dinding perut dan dada, sembab tungkai dan lengan, sembab genitalia, hipertensi ringan dan sedang.
Hipertensi berat dengan atau tanpa penyulit bukan merupakan gejala sindrom nefrotik tetapi mempunyai hubungan dengan etiologi dan perubahan-perubahan histopatologis ginjal. Pada pasien-pasien glomerulopati lesi minimal (GLM) jarang ditemukan hipertensi. Pada glomerulopati membranous (GM) hipertensi ditemukan pada kira-kira 50%. Hipertensi lebih sering ditemukan (75%) bila sindrom nefrotik mempunyai hubungan dengan glomerulonefritis kronis, lupus nefritis dan glomerulo-sklerosis interkapiler pada diabetes mellitus.
HUBUNGAN ANTARA KELAINAN HISTOPATOLOGI DAN GAMBARAN KLINIK
1. Glomerulopati Lesi Minimal (GLM)
Glomerulopati lesi minimal sering dijumpai pada sindroma nefrotik anak-anak. Angka kejadian glomerulopati lesi minimal pada sindrom nefrotik dewasa antara 10-15%. Gambaran klinik yang khas : faal ginjal normal, tidak ditemukan hematuria, normotensi, mempunyai respon yang baik terhadap kortikosteroid dengan remisi mencapai 90 %. Remisi spontan mencapai 60 %. Kira-kira 2/3 dari seluruh pasien glomerulopati lesi minimal akan mengalami kambuh ( relap ) 3-4 bulan setelah remisi sempurna, tetapi sebagian besar pasien-pasien tersebut masih menunjukkan respon yang baik terhadap kortikosteroid dan sebagian kecil terhadap imunosupresif lain misalnya siklofosfamid (endoksan). Pasien-pasien yang memperlihatkan respon baik terhadap siklofosfamid ini akhirnya akan memperlihatkan baik terhadap kortikosteroid lagi.
Hampir 70% dari pasien-pasien glomerulopati lesi minimal yang mengalami kambuh (relap), didahului oleh infeksi saluran pernafasan non streptokok dengan periode laten kurang dari 10 hari, atau penyakit atopik saluran nafas atas ( rinitis alergik). Pengamatan penulis menemukan relapser sindrom nefrotik (pasien anak) sering didahului penyakit atopik; seperti rinitis alergi atau asma bronchial. Pemeriksaan petanda alergi (IgE total) sangat tinggi. Sebagian besar pasien relapsersindrom nefrotik setelah usia dewasa sering mengalami episode asma bronchial.
Biopsi ginjal ulangan dari pasien-pasien glomerulopati lesi minimal yang resisten terhadap kortikosteroid memperlihatkan lesi-lesi glomerulus seperti amiloid atau deposit-deposit komplek imun atau glomerulosklerosis fokal.
2. Glomerulopati Lesi Membranous (GLM)
Angka kejadian lesi membranous kira-kira 30-50% dari sindrom nefrotik pada orang dewasa. Perjalanan penyakit glomerulopati lesi membranous menyusup lambat. Proteinuria biasanya lebih dari 10 gram per hari dan sifatnya non selektif. Kira-kira 75% dari pasien-pasien glomerulopati lesi membranous dengan gambaran klinik sembab, disamping lebih dari 10% dengan hematuria makroskopis terutama pada anak-anak. Hematuria mikroskopis ditemukan kira-kira lebih dari 50% dan 1/3 dari pasien-pasien disertai hipertensi dan penurunan faal ginjal. Hipokomplemenemia bukan merupakan gambaran dari pasien-paien glomerulopati membranous. Remisi ditemukan pada kira-kira 30%, tetapi sering terjadi kambuh kembali (relap) setelah beberapa bulan atau tahun.
Prognosis tidak tergantung dari derajat penebalan membran basal. Proteinuria masif dan menetap (persisten) mempunyai prognosis buruk, lebih sering terjun menjadi gagal ginjal kronik (GGK). Masa hidup mencapai 5 tahun (70 sampai 90%) dan 10 tahun(50 sampai 60%).
3. Glomrulosklerosis lokal (GFS)
Glomerulosklerosis fokal dapat ditemukan pada pasien-pasien dengan gambaran klinik proteinuria asimptomatik disertai hipertensi dan penurunan faal ginjal dan proteinuria masif (sindrom nefrotik). Angka kejadian glomerulosklerosis fokal pada sindrom nefrotik idiopati hanya kira-kira 10% pada anak-anak, sedangkan pada orang dewasa 10-20%.
Lesi-lesi yang ditemukan pada stadium permulaan dari GFS ini sulit dibedakan dengan GLM. Kecuali terdapat atrofi sel-sel tubulus yang mencolok. Klinik dijumpai hipertensi dan proteinuria non selektif.
Remisi maupun eksaserbasi dapat terjadi pada glomerulosklerosis fokal. Remisi dapat mencapai 25% pada anak-anak. Progresivitas penyakit sampai terjun menjadi gagal ginjal hanya sekitar 30% dari semua pasien.
Peranan kortikosteroid maupun siklofosfamid masih diragukan, masih kontroversi diantara para peneliti.
4. Glomerulopati Lesi Proliferatif (GLP) atau
Glomerulopati lesi membrano-proliferatif (GLMP) atau
Glomerulopati mesangiokapiler (GMK).
Glomerulopati lesi membrano-proliferatif idiopati relatif jarang, biasanya ditemukan pada usia adolesen dengan umur antara 15-30 tahun. Gambaran klinik Glomerulopati membrano-proliferatif sindrom nefrotik (30%), proteinuria dengan atau tanpa hematuria (30%) dan sindrom nefrotik akut (20%). Gambaran klinik sindrom nefrotik dengan lesi membranoproliferatif : proteinuria masif non selektif, hematuria, hipertensi, penurunan faal ginjal progresif lambat selama bertahun-tahun sebelum terjadi sindrom azotemia. Bila proteinuria masif dan menetap (persisten) menunjukkan prognosis buruk dan akan terjun menjadi gagal ginjal kronik (GGK).
Peranan kortikosteroid masih kontroversi. Pengobatan semata-mata simtomatis sebelum transplantasi ginjal.
KOMPLIKASI
Penyulit (komplikasi) Sindrom Nefrotik tergantung dari beberapa faktor :
– Kelainan histopatologis
– Lamanya sakit
– Usia pasien
a) Malnutrisi, akibat hipolabuminemia berat.
b) Infeksi sekunder, disebabkan gangguan mekanisme pertahanan humoral, penurunan gamma globulin serum.
c) Gangguan koagulasi, berhubungan dengan kenaikan beberapa faktor pembekuan yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi.
d) Akselerasi aterosklerosis, akibat dari hipelipidemia yang lama.
e) Kolap hipovolemia, akibat proteinuria yang berat.
f) Efek samping obat-obatan : diuretik, antibiotik, kortikosteroid, antihipertensi, sitostatika yang sering digunakan pada pasien sindrom nefrotik.
g) Gagal ginjal.
EVALUASI KLINIK
Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas maka anamnesis dan pemeriksaan fisis serta pemeriksaan urin, termasuk pemeriksaan sedimen, perlu dilakukan dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol, dan trigliserid juga membantu penilaian terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi dan riwayat penyakit sistemik lain perlu diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder. Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya mahal. Karena itu sebaiknya pemeriksaan serologik hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat.
PENGOBATAN
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujuka terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,6-0,8 gr/kg berat badan/hari dapat mengurangi proteinuria.